Rizki Amalia Witri |
FUNGSI guru kini bukan lagi untuk digugu dan ditiru melainkan untuk
ditakuti. Para guru ringan tangan itulah yang berhasil menciptakan citra
tersebut, dimana tangan dan penunjuk papan tulis bukan lagi alat untuk
mengajar, melainkan untuk menghajar. Seperti banyak kasus penganiayaan
yang dilakukan para guru terhadap muridnya yang masih sering hingga saat
ini. Seperti yang terjadi di Banyumas, Jawa Tengah, Jumat, 24 Februari
lalu, seorang guru diduga menendang dan memukul siswanya di kantin,
dikarenakan siswa tersebut tidak mengikuti pelajaran tambahan. Kejadian
itu menimpa Adam Bisno, murid kelas 9 di SMP Negeri 2 Baturraden
Banyumas.
Alasannya guru menghukum dengan menyakiti murin secara fisik adalah
agar memberi efek jera terhadap murid-murid yang melanggar tatatertib.
Namun sangat disayangkan, hukuman fisik yang diberikan tidak hanya
meninggalkan bekas luka ditubuh namun juga meninggalkan efek buruk
secara psikologis. Pukulan, cambukan atau cubitan yang diberikan guru
memicu anak untuk memberontak dan berbohong. Mengapa berbohong? Ya, si
anak akan berbohong karena untuk menghindari hukuman berat yang akan
menimpanya apabila diketahui telah melanggar peraturan. Selain itu,
memberikan pukulan hingga meninggalkan bekas luka akan mengakibatkan si
murid dendam terhadap gurunya. Sudah tentu secara psikologis itu adalah
sebuah penyimpangan.
Sebuah studi berjudul Issue of Child Development yang dilakukan oleh
Victoria Talwar dan Kang Lee pada bulan November 2011 lalu menjelaskan
bahwa anak-anak usia 3-4 tahun yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh
dengan hukuman akan membuat mereka lebih sering berbohong. Studi ini
disusun berdasarkan penelitian yang melibatkan murid sekolah di Afrika
Barat, negara yang memiliki sejarah dimana para murid mengalami
kekerasan dan hukuman fisik. Penelitian ini memilih sampel dari sekolah
swasta yang masih menerapkan hukuman fisik, dan sekolah swasta lain yang
tidak menggunakan hukuman fisik. Hasilnya, di sekolah swasta yang
menerapkan sistem hukuman fisik, sekitar 90 % anak berbohong dan
mengatakan bahwa mereka tidak melihat mainan tersebut. Sedangkan di
sekolah yang tidak menggunakan hukuman fisik ini, hanya setengah dari
mereka yang berbohong.
Memang benar apabila anak dianggap berperilaku buruk dan tidak
mengindahkan larangan guru, hukuman pantas diberikan sebagai bagian dari
pendidikan anak. Memberikan sangsi anak agar menjadi jera terhadap
perilaku buruk mereka merupakan salah satu solusi yang bisa dilakukan
para guru. Tetapi hukuman tidak harus bersifat fisik atau kekerasan
seperti pukulan, cubitan, cambukan atau hal lain yang malah membuat anak
bertindak lebih kasar dan berbohong untuk menghindari hukuman. Hukuman
dapat kita berikan melalui penguatan negatif yang kita berikan. Teori
bihaviorisme Skinner menyatakan bahwa di dalam pembelajaran terdapat
pengkondisian operan. Pengkondisian operan adalah sebentuk pembelajaran
dimana konsekuensi-konsekuensi dari prilaku menghasilkan perubahan dalam
probabilitas prilaku itu akan diulangi (Margaret E. Bell Gredler, hlm
122). Teori tersebut juga menyatakan bahwa pembelajaran pada anak
terdapat 2 unsur penting yaitu hukuman dan penguatan. Hukuman fisiklah
yang sangat dihindari Skinner dalam metodenya. Sebagai pengganti untuk
mengatasi siswa-siswa yaitu dengan penguatan, baik positif maupun
negatif.
Penguatan positif betujuan meningkatkan sisi baik yang siswa berikan.
Misalnya siswa tepat waktu atau dengan baik telah mengumpulkan tugas,
maka bentuk-bentuk penguatan positif yang diberikan diantaranya berupa
hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum, menganggukkan
kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau
penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb). Dengan begitu siswa akan terangsang
untuk melakukannya lagi. Namun apabila siswa melanggar peraturan,
bertindak nakal atau tidak mengerjakan tugas, para guru dapat memberikan
penguatan negatif. Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain:
menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau
menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka
kecewa dll). Dengan memberikan respon yang tidak menyenangkan tersebut
akan menyadarkan siswa untuk tidak melakukan kenakalan atau pelanggaran
lagi.
Kita para guru ingin menciptakan generasi pembangun yang jujur bukan
generasi pemberontak dan pembohong. Maka cara kita menghakimi mereka pun
haruslah benar-benar membuat mereka sadar akan kesalahan mereka dan
ingin memperbaikinya. Sangatlah tidak tidak pantas kalau perlakuan yang
kita berikan hanyalah akan menyimpan dendam di dalam diri mereka dan
mencetak mereka menjadi pemberontak sejati.
*Mahasiswa Sampoerna School of Education
Diambil dari :
SuaraJakarta.com