Kamis, 17 Mei 2012

Mengajar Bukan Berarti Menghajar

Rizki Amalia Witri |
FUNGSI guru kini bukan lagi untuk digugu dan ditiru melainkan untuk ditakuti. Para guru ringan tangan itulah yang berhasil menciptakan citra tersebut, dimana tangan dan penunjuk papan tulis bukan lagi alat untuk mengajar, melainkan untuk menghajar. Seperti banyak kasus penganiayaan yang dilakukan para guru terhadap muridnya yang masih sering hingga saat ini. Seperti yang terjadi di Banyumas, Jawa Tengah, Jumat, 24 Februari lalu, seorang guru diduga menendang dan memukul siswanya di kantin, dikarenakan siswa tersebut tidak mengikuti pelajaran tambahan. Kejadian itu menimpa Adam Bisno, murid kelas 9 di SMP Negeri 2 Baturraden Banyumas.
Alasannya guru menghukum dengan menyakiti murin secara fisik adalah agar memberi efek jera terhadap murid-murid yang melanggar tatatertib. Namun sangat disayangkan, hukuman fisik yang diberikan tidak hanya meninggalkan bekas luka ditubuh namun juga meninggalkan efek buruk secara psikologis. Pukulan, cambukan atau cubitan yang diberikan guru memicu anak untuk memberontak dan berbohong. Mengapa berbohong? Ya, si anak akan berbohong karena untuk menghindari hukuman berat yang akan menimpanya apabila diketahui telah melanggar peraturan. Selain itu, memberikan pukulan hingga meninggalkan bekas luka akan mengakibatkan si murid dendam terhadap gurunya. Sudah tentu secara psikologis itu adalah sebuah penyimpangan.
Sebuah studi berjudul Issue of Child Development yang dilakukan oleh Victoria Talwar dan Kang Lee pada bulan November 2011 lalu menjelaskan bahwa anak-anak usia 3-4 tahun yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan hukuman akan membuat mereka lebih sering berbohong. Studi ini disusun berdasarkan penelitian yang melibatkan murid sekolah di Afrika Barat, negara yang memiliki sejarah dimana para murid mengalami kekerasan dan hukuman fisik. Penelitian ini memilih sampel dari sekolah swasta yang masih menerapkan hukuman fisik, dan sekolah swasta lain yang tidak menggunakan hukuman fisik. Hasilnya, di sekolah swasta yang menerapkan sistem hukuman fisik, sekitar 90 % anak berbohong dan mengatakan bahwa mereka tidak melihat mainan tersebut. Sedangkan di sekolah yang tidak menggunakan hukuman fisik ini, hanya setengah dari mereka yang berbohong.
Memang benar apabila anak dianggap berperilaku buruk dan tidak mengindahkan larangan guru, hukuman pantas diberikan sebagai bagian dari pendidikan anak. Memberikan sangsi anak agar menjadi jera terhadap perilaku buruk mereka merupakan salah satu solusi yang bisa dilakukan para guru. Tetapi hukuman tidak harus bersifat fisik atau kekerasan seperti pukulan, cubitan, cambukan atau hal lain yang malah membuat anak bertindak lebih kasar dan berbohong untuk menghindari hukuman. Hukuman dapat kita berikan melalui penguatan negatif yang kita berikan. Teori bihaviorisme Skinner menyatakan bahwa di dalam pembelajaran terdapat pengkondisian operan. Pengkondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan diulangi (Margaret E. Bell Gredler, hlm 122). Teori tersebut juga menyatakan bahwa pembelajaran pada anak terdapat 2 unsur penting yaitu hukuman dan penguatan. Hukuman fisiklah yang sangat dihindari Skinner dalam metodenya. Sebagai pengganti untuk mengatasi siswa-siswa yaitu dengan penguatan, baik positif maupun negatif.
Penguatan positif betujuan meningkatkan sisi baik yang siswa berikan. Misalnya siswa tepat waktu atau dengan baik telah mengumpulkan tugas, maka bentuk-bentuk penguatan positif yang diberikan diantaranya berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb). Dengan begitu siswa akan terangsang untuk melakukannya lagi. Namun apabila siswa melanggar peraturan, bertindak nakal atau tidak mengerjakan tugas, para guru dapat memberikan penguatan negatif. Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll). Dengan memberikan respon yang tidak menyenangkan tersebut akan menyadarkan siswa untuk tidak melakukan kenakalan atau pelanggaran lagi.
Kita para guru ingin menciptakan generasi pembangun yang jujur bukan generasi pemberontak dan pembohong. Maka cara kita menghakimi mereka pun haruslah benar-benar membuat mereka sadar akan kesalahan mereka dan ingin memperbaikinya. Sangatlah tidak tidak pantas  kalau perlakuan yang kita berikan hanyalah akan menyimpan dendam di dalam diri mereka dan mencetak mereka menjadi pemberontak sejati.
*Mahasiswa Sampoerna School of Education

Diambil dari :
SuaraJakarta.com